Kamis, 15 Oktober 2009

KAWALAN ANGKUTAN BARANG



Nama Gajah Oling memang sangat terkenal di kalangan pemilik jasa angkutan barang, khususnya truk. Meski merupakan ''anak'' koperasi pembekalan angkutan (bekang) Kodam V Brawijaya, pengaruhnya terasa hingga ke luar daerah.

Salah satu buktinya adalah operasi pencopotan stiker Gajah Oling yang marak dilakukan di Jawa Tengah selama dua hari terakhir. Kabarnya, Detasemen Pomdam IV Diponegoro sampai memanggil sejumlah pengusaha di Jawa Tengah yang menggunakan jasa Gajah Oling untuk mengetahui apakah ada keluhan dari para pengusaha itu.

Seperti apa profil Gajah Oling tersebut? Jawa Pos sempat mewawancarai Mayor (pur) Kacuk Sukiran, bos Gajah Oling, yang mengaku pensiun dua bulan lalu. ''Gajah Oling didirikan sejak sepuluh tahun lalu. Kami memulai usaha jasa pengawalan tersebut setelah masa krisis 1998,'' katanya.

Kacuk menjadi ketua sejak Gajah Oling didirikan. Ketika itu, pangkatnya masih kapten. Ide awalnya adalah langkah pengamanan agar perjalanan truk perbekalan dan angkutan selalu lancar. ''Sebagai perwira di pembekalan dan angkutan, saya tahu persis hambatan apa saja di jalan. Banyak preman dan aparat yang sering melakukan pungli kepada sopir truk,'' ucapnya.

Bermula dari ide tersebut, pihaknya membentuk jasa pengawalan. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengondisikan para preman agar tidak memungut pungli. ''Intinya, bila menggunakan jasa kami, armada angkutan dijamin tidak akan mengeluarkan uang seperak pun untuk pungli,'' tegasnya.

Cara awal yang dilakukan Kacuk untuk menjaga armada atau kendaraan kliennya agar tidak menjadi sasaran pungli preman cukup sederhana. Dia mencontohkan kebiasaan lama pungli di perempatan besar Mojokerto. ''Di tempat itu, sopir truk selalu kena pungli setiap pukul 07.00 hingga 09.00. Saya perintah anggota untuk mengondisikan para preman di sana agar tidak meminta uang kepada truk yang dilengkapi stiker Gajah Oling,'' jelasnya.

Karena itu, truk-truk yang berstiker Gajah Oling bisa melenggang bebas tanpa takut terkena pungli lagi. ''Kalau seperti itu, saya heran kenapa kami dikatakan seperti preman. Padahal, sehari-hari kami justru membantu polisi untuk memberantas preman dan pungli di jalanan,'' tegas pria yang jabatan terakhirnya adalah kepala gudang, perminyakan, dan peralatan kesatrian Bekang Kodam V Brawijaya tersebut.

Kacuk menyebutkan, tarif jasa pengawalan Gajah Oling sangat terjangkau. Rata-rata Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per bulan. ''Yang Rp 40 ribu itu untuk truk jenis tronton,'' ujarnya blak-blakan.

Lalu, bagaimana dengan kuitansi senilai Rp 225 ribu yang ditemukan polisi di Jalan Gresik kemarin? Dia mengaku tak tahu-menahu soal itu. ''Saya belum paham. Akan saya coba cek dulu,'' ucapnya.

Dibanding pungli yang harus dibayar para sopir, Kacuk menilai tarif jasa pengawalan Gajah Oling sangat murah. Dia mengaku pernah menelusuri jumlah pungli sejak Pelabuhan Tanjung Perak hingga Ketapang. ''Tanpa jasa kami, pungli yang harus dibayar sopir bisa mencapai Rp 200 ribu. Itu hanya untuk sekali jalan. Bandingkan dengan tarif kami yang hanya Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per bulan,'' ungkapnya.

Kendati murah, tidak berarti pemasukan Gajah Oling pas-pasan. Kacuk mengklaim punya klien 300-400 perusahaan di seluruh Indonesia. Tiap klien bisa mempunyai puluhan armada. ''Tak ada paksaan masuk ke kami. Kalau servis kami kurang memuaskan, tentu kami tak akan mempunyai klien sampai sebanyak itu,'' katanya.

Karena itu, Kacuk menyesalkan tindakan pelepasan stiker Gajah Oling di kendaraan-kendaraan oleh Polda Jawa Tengah. ''Kami akan menyampaikan keberatan. Wong kami ini justru membantu polisi memerangi preman, kok malah dianggap sebagai preman juga,'' tegasnya.

Dia juga menyatakan, tidak ada satu pun aspek hukum yang dilanggar dalam menjalankan bisnis jasa pengawalan. ''Kerja kami adalah membantu menghilangkan hambatan dan pungli di jalan,'' ungkapnya. (ano/fat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar