Kamis, 15 Oktober 2009

KISRUH ANGKUTAN PENUMPANG



Berebut Rezeki di Atas Jembatan
HADIRNYA Suramadu juga mengundang masalah baru terkait pengelolaan angkutan umum yang melintas di atas jembatan sepanjang 5,4 km itu. Beberapa kali pengusaha dan sopir angkutan kota (angkot) di Surabaya protes karena banyaknya bus AKDP (antarkota dalam provinsi) jurusan Madura yang dianggap telah menyerobot jatah penumpang mereka. Kondisi tersebut diperparah oleh laporan adanya angkot dari Bangkalan yang bisa mengambil dan menurunkan penumpang di Surabaya.

Kepala DPC Organda Surabaya Wastomi Suheri menyatakan, pihaknya beberapa kali mendapat aduan dari pengusaha dan sopir angkot terkait pelanggaran tersebut. Menurut dia, masalah yang sering disampaikan para pengusaha dan sopir adalah terkait dengan bus AKDP jurusan Madura yang bisa menaikturunkan penumpang di jarak pendek (dalam Kota Surabaya).

Dari temuan para sopir, setelah adanya Jembatan Suramadu, bus AKDP tidak menggunakan feri untuk menyeberang ke Madura atau sebaliknya. Mereka lebih memilih lewat tol Suramadu. Sepanjang perjalanan dari Surabaya hingga menjelang Suramadu, bus-bus tersebut sering dipergoki menaikkan penumpang jarak pendek atau dalam kota.

Akibat kondisi tersebut, pengusaha dan sopir angkot yang memiliki jurusan ke Suramadu merasa dirugikan. ''Laporan itu sudah beberapa kali disampaikan ke dewan. Ini rawan kalau tidak dicari solusinya,'' tegas Wastomi.

Baru-baru ini, laporan pelanggaran trayek juga dilakukan MPU dari Bangkalan. Puluhan sopir angkot UBK jurusan Ujung-Kenjeran dan R2 Jembatan Merah-Kenjeran nglurug ke Mapolsek Kenjeran. Mereka datang untuk meminta bantuan polisi agar menertibkan angkot L-300 yang datang dari Bangkalan dan menyerobot trayek yang selama ini menjadi hak mereka. ''Mereka mengeluh penumpang angkotnya berkurang karena diambili MPU dari Bangkalan yang melintas di Suramadu,'' ungkap Kapolsek Kenjeran AKP Sayen Victor Tarigan.

Menurut dia, masalah pelanggaran trayek bukan wewenang polisi. Namun, sesuai pengamatan di lapangan dan laporan yang masuk, memang banyak MPU dari Bangkalan jenis Mitsubishi L-300 yang seharusnya menuju Pelabuhan Perak dan menyeberang dengan feri mengubah jalur trayeknya melalui Jembatan Suramadu. ''Mungkin mereka melihat lebih mudah dan lebih hemat jika dibanding naik feri,'' katanya.

Bukan hanya itu, para sopir MPU L-300 dari Bangkalan juga memberi layanan plus-plus. Mereka kadang menurunkan penumpang di sekitar kawasan Suramadu sampai depan rumah layaknya travel. Harga yang dipatok Rp 50 ribu-Rp 70 ribu per penumpang. Yang lebih parah, para sopir itu juga mengambil penumpang di kawasan Nambangan, Bulak Cumpat, serta Kedinding Lor untuk diangkut ke Bangkalan.

''Nah, itulah yang dipermasalahkan puluhan pengemudi angkot UBK dan R2. Mereka merasa jatah makannya sudah diambil sopir lain. Saya juga tidak bisa menyalahkan mereka,'' ujar Sayen.

Tak berhenti di situ, karena berebut trayek tersebut, kasus penganiayaan juga sempat terjadi. Seorang sopir angkot R2 melapor dirinya menjadi korban pengeroyokan oleh lima sopir angkot L-300 dari Bangkalan pada Jumat (18/9).

Pengeroyokan itu terjadi lantaran korban menegur sopir L-300 yang sedang mengambil penumpang di wilayah trayek angkot R2. Merasa tersinggung, sopir L-300 dibantu empat temannya mendatangi korban dan mengeroyoknya.

Polisi mengejar para pelaku pengeroyokan dan menahan seorang sopir L-300 yang diduga sebagai otak pengeroyokan. ''Dia kami tahan karena terbukti bersalah,'' tegas Sayen.

Masalah terkait trayek juga diakui Kepala DPD Organda Jatim Mustofa. Menurut dia, permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan adanya kesalahpahaman para sopir. Dia menjelaskan, bus-bus AKDP memang sebenarnya berhak melewati jalur mana pun dalam Kota Surabaya. Sebab, hal tersebut tidak diatur dalam trayek bus AKDP. Jadi, jika bus-bus tersebut menurunkan penumpang di jalan di dalam kota, sebenarnya sah-sah saja.

''Misalnya, mereka (bus AKDP) menurunkan penumpang di Sidotopo. Itu tidak apa-apa. Tapi, kalau mereka menaikkan penumpang untuk jarak dekat, itu tidak boleh. Persoalannya, kami sulit memantau,'' jelasnya.

Senada dengan Mustofa, Kabid Angkutan Darat Dinas Perhubungan dan LLAJ Jatim Sumarsono mengungkapkan, sejauh ini tidak ada laporan dari petugas di lapangan terkait pelanggaran trayek yang dikeluhkan para sopir. (gun/dan/ari)

KAWALAN ANGKUTAN BARANG



Nama Gajah Oling memang sangat terkenal di kalangan pemilik jasa angkutan barang, khususnya truk. Meski merupakan ''anak'' koperasi pembekalan angkutan (bekang) Kodam V Brawijaya, pengaruhnya terasa hingga ke luar daerah.

Salah satu buktinya adalah operasi pencopotan stiker Gajah Oling yang marak dilakukan di Jawa Tengah selama dua hari terakhir. Kabarnya, Detasemen Pomdam IV Diponegoro sampai memanggil sejumlah pengusaha di Jawa Tengah yang menggunakan jasa Gajah Oling untuk mengetahui apakah ada keluhan dari para pengusaha itu.

Seperti apa profil Gajah Oling tersebut? Jawa Pos sempat mewawancarai Mayor (pur) Kacuk Sukiran, bos Gajah Oling, yang mengaku pensiun dua bulan lalu. ''Gajah Oling didirikan sejak sepuluh tahun lalu. Kami memulai usaha jasa pengawalan tersebut setelah masa krisis 1998,'' katanya.

Kacuk menjadi ketua sejak Gajah Oling didirikan. Ketika itu, pangkatnya masih kapten. Ide awalnya adalah langkah pengamanan agar perjalanan truk perbekalan dan angkutan selalu lancar. ''Sebagai perwira di pembekalan dan angkutan, saya tahu persis hambatan apa saja di jalan. Banyak preman dan aparat yang sering melakukan pungli kepada sopir truk,'' ucapnya.

Bermula dari ide tersebut, pihaknya membentuk jasa pengawalan. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengondisikan para preman agar tidak memungut pungli. ''Intinya, bila menggunakan jasa kami, armada angkutan dijamin tidak akan mengeluarkan uang seperak pun untuk pungli,'' tegasnya.

Cara awal yang dilakukan Kacuk untuk menjaga armada atau kendaraan kliennya agar tidak menjadi sasaran pungli preman cukup sederhana. Dia mencontohkan kebiasaan lama pungli di perempatan besar Mojokerto. ''Di tempat itu, sopir truk selalu kena pungli setiap pukul 07.00 hingga 09.00. Saya perintah anggota untuk mengondisikan para preman di sana agar tidak meminta uang kepada truk yang dilengkapi stiker Gajah Oling,'' jelasnya.

Karena itu, truk-truk yang berstiker Gajah Oling bisa melenggang bebas tanpa takut terkena pungli lagi. ''Kalau seperti itu, saya heran kenapa kami dikatakan seperti preman. Padahal, sehari-hari kami justru membantu polisi untuk memberantas preman dan pungli di jalanan,'' tegas pria yang jabatan terakhirnya adalah kepala gudang, perminyakan, dan peralatan kesatrian Bekang Kodam V Brawijaya tersebut.

Kacuk menyebutkan, tarif jasa pengawalan Gajah Oling sangat terjangkau. Rata-rata Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per bulan. ''Yang Rp 40 ribu itu untuk truk jenis tronton,'' ujarnya blak-blakan.

Lalu, bagaimana dengan kuitansi senilai Rp 225 ribu yang ditemukan polisi di Jalan Gresik kemarin? Dia mengaku tak tahu-menahu soal itu. ''Saya belum paham. Akan saya coba cek dulu,'' ucapnya.

Dibanding pungli yang harus dibayar para sopir, Kacuk menilai tarif jasa pengawalan Gajah Oling sangat murah. Dia mengaku pernah menelusuri jumlah pungli sejak Pelabuhan Tanjung Perak hingga Ketapang. ''Tanpa jasa kami, pungli yang harus dibayar sopir bisa mencapai Rp 200 ribu. Itu hanya untuk sekali jalan. Bandingkan dengan tarif kami yang hanya Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per bulan,'' ungkapnya.

Kendati murah, tidak berarti pemasukan Gajah Oling pas-pasan. Kacuk mengklaim punya klien 300-400 perusahaan di seluruh Indonesia. Tiap klien bisa mempunyai puluhan armada. ''Tak ada paksaan masuk ke kami. Kalau servis kami kurang memuaskan, tentu kami tak akan mempunyai klien sampai sebanyak itu,'' katanya.

Karena itu, Kacuk menyesalkan tindakan pelepasan stiker Gajah Oling di kendaraan-kendaraan oleh Polda Jawa Tengah. ''Kami akan menyampaikan keberatan. Wong kami ini justru membantu polisi memerangi preman, kok malah dianggap sebagai preman juga,'' tegasnya.

Dia juga menyatakan, tidak ada satu pun aspek hukum yang dilanggar dalam menjalankan bisnis jasa pengawalan. ''Kerja kami adalah membantu menghilangkan hambatan dan pungli di jalan,'' ungkapnya. (ano/fat)

Senin, 12 Oktober 2009

KIRIMAN BARANG SELANG HDPE KE SOLO





Selang HDPE, Tangga, dan Drum Jack kami loading tenggal 6 Oktober 2009 dari gudang PT Qdc untuk dikirim ke Solo.
Selain ke Solo, ada tambahan berupa Tangga dan Drum Jack juga yang akan dikirim ke Madiun.
Selang HDPE yang dikirim sebanyak 20 Roll ke Solo ditambah dengan 2 buah tangga 6 meter dan 2 buah Drum jack.

CARGO DARAT KIRIMAN KABEL FIBER OPTIK KE JAWA TENGAH AREA









Beberapa hari kemarin kami menerima kiriman berupa Kabel Fiber Optik dari PT Qdc ke Daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur Area, Untuk Jawa Tengah meliputi kiriman ke Purwokerto, Pekalongan dan Solo. Sedangkan untuk Jawa Timur Area meliputi, Madiun, Probolinggo, Banyuwangi, Jember, Kediri, Bojonegoro dan Pacitan. Barang berupa Fiber Optik ini dikemas dalam Hapel atau drum yang kami Loading dari PT Voksel Electrik di Narogong, Bekasi.
Untuk Kiriman pertama tanggal 1 Oktober 2009, kami kirim 1 truck Fuso ke Probolinggo dan 1 Truck Fuso ke Banyuwangi. Kiriman tanggal 2 Oktober 2009, kami kirim 2 truck Fuso ke Purwokerto dan 2 truck Fuso ke Pekalongan. Tanggal 3 Oktober 2009, kami kirim sebanyak 2 Truck Fuso ke Solo dan 4 Truck ke Purwokerto. Tanggal 7 Oktober 2009, kami kirim sebanyak 1 truck Colt diesel ke Purwokerto, 2 truck Fuso ke Solo, dan 3 Truck Fuso ke Madiun.
Pada hari yang sama pula kami memberangkatkan pula 1 truck Fuso membawa 1 buah Compresor seberat 3 ton lebih dari Cilegon untuk dikirim ke PO. Purwokerto. sedangkan tanggal 10 Oktober kami kirim 1 truck Fuso ke Bojonegoro dan 1 Truck Fuso ke Pacitan.
Untuk pengiriman kabel Fiber Optik, Alhamdulillah, sejauh ini kami tidak menemukan kendala yang berarti, hanya pada waktu pengambilan surat jalan di Pabrik Voksel yang memakan waktu lama, meskipun selesai loading masih siang, surat jalannya baru keluar malam hari.